Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia, diperkirakan kain lurik berasal dari daerah pedesaan di Jawa. Kain lurik ini tidak hanya dipakai oleh masyarakat pedesaan saja, melainkan dipergunakan pula di dalam lingkungan keraton. Tentu saja, motif lurik yang dipergunakan untuk kalangan bangsawan berbeda dengan yang dipakai oleh rakyat jelata, ya. Begitu pula motif yang dipakai untuk upacara adat, kain yang dikenakan juga disesuaikan dengan waktu serta tujuan upacara tersebut.
Sumber : aengaeng.com
Pada awal mula pembuatannya, kain lurik dibuat dalam bentuk selendang dipakai untuk kemben ataupun alat untuk menggendong. Motifnya pun cukup sederhana berbentuk garis garis dengan warna hitam dan putih ataupun perpaduan di antaranya. Dari beberapa situs peninggalan sejarah, kain lurik bahkan sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit, lho. Relief pada Candi Borobudur pun menggambarkan keberadaan penenun kain lurik dengan alat tenun gendong.
Seiring waktu berkembang, kain lurik pun mulai dijadikan pakaian untuk pria atau dikenal dengan beskap dan digunakan sebagai jarik atau kebaya pada wanita. Pada saat ini, kain lurik bahkan dijadikan busana sehari-hari di beberapa daerah, Sahabat.
Filosofi yang Terkandung di Dalamnya
Seperti halnya karya budaya tradisional lainnya, kain lurik tidak hanya sekadar alat busana yang dipakai dalam keseharian saja. Ada makna yang begitu dalam di setiap untaian benang dan corak di dalamnya. Dalam kehidupan tradisional, pakaian juga berfungsi sebagai simbol status dalam masyarakat, pun dalam ritual keagamaan.
Kata lurik itu sendiri berasal dari akar kata rik yang bermakna garis atau pagar pelindung. Makna filosofis dari kain lurik adalah sebagai pelindung tubuh bagi pemakainya, dalam hal ini dapat diartikan sebagai pelindung secara fisik maupun spiritual.
Lurik tradisional memiliki keunikan dibandingkan dengan lurik mesin, teksturnya yang khas membuatnya berbeda dari hasil tenun mesin yang lebih rata dan monoton. Ini yang membuat lurik tradisional memiliki harga yang lebih mahal, karena memiliki ciri khas yang tidak akan pernah sama dari satu penenun dengan penenun lain.
Kendala yang Dihadapi Pengrajin Lurik ATBM
Meski memiliki penggemarnya tersendiri, pengrajin kain lurik tradisional menemukan banyak kesulitan yang harus dihadapi. Mulai dari proses produksi yang memang tentu saja memerlukan waktu yang lebih lama dibanding dengan lurik mesin. Ditambah lagi peminat yang mulai menurun disebabkan harganya yang lebih mahal dibanding dengan lurik mesin. Pada era sekarang ini, banyak yang lebih memilih lurik modern daripada lurik tradisional ATBM. Hal ini dikarenakan harga lurik modern jauh lebih terjangkau daripada lurik tradisional.
Tak hanya itu, yang lebih miris adalah minat dari generasi muda yang kurang dalam produksi tenun kain ATBM. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya mencari generasi penerus penenun tradisional. Sebagian besar penenun tradisional telah berusia di atas 60 tahun, Sahabat dan hal ini adalah kendala yang dihadapi hampir semua produsen kain tradisional ATBM.