Lurik KitaSejarah Lurik

Modernisasi Tradisi, Lurik Pedan Menembus Zaman

Suara  “dag”, ” dag”, “dag” terdengar nyaring  dari rumah – rumah di desa Pedan, Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Bunyi tersebut bersumber dari “gedogan” milik warga desa untuk menenun kain “Lurik”.

Beberapa puluh tahun lalu semasa kain Lurik berjaya, beberapa desa di wilayah Klaten dikenal sebagai pembuat kain tenun Lurik. Diantaranya desa Pedan, Cawas, Juwiring, Bayat, Karangdowo, Tlingsing dan Delanggu,  kini hanya desa Pedan dan desa Tlingsing yang masih eksis.

Seiring munculnya  “alat tenun mesin” (ATM), pengrajin tradisional dengan “gedogan”  dan “alat tenun bukan mesin” (ATBM) mulai surut. Kedua jenis alat tenun ini dioperasikan secara manual, sama – sama dibuat dari kayu ada juga dari bambu. Bedanya terletak pada kontruksi alat, konstruksi “gedogan” lebih sederhana dibandingkan ATBM.

Pengrajin kain Lurik tradisional dan ATBM juga masih dapat ditemui  desa – desa di Klaten, pengrajin tenun manual terbanyak ditemui di desa Tlingsing yang populer sebagai “Desa Wisata Tenun”.

Di Pedan sendiri dikenal sebagai sentra kain Lurik terbesar di Jawa Tengah. Pembuatan kain Lurik disini tidak lagi mengandalkan “gedogan” dan ATBM.  Sejalan dengan naiknya permintaan  pasar Lurik, pengusaha – pengusaha Lurik  di Pedan memanfaatkan ATM untuk memproduksi kain Lurik modern.

Dengan ATM, kain tenun Lurik bisa diproduksi  massif, corak dan warna juga lebih bervariasi. Dari sisi harga lebih terjangkau dibandingkan kain Lurik tradisional.

Kedua jenis Lurik tersebut memiliki pasar tersendiri, dari sisi harga kain Lurik dari alat tenun manual jauh lebih mahal dibandingkan Lurik ATM.

Kain Lurik sendiri awalnya pakaian khas pria di wilayah Kerajaan Mataram. Terbuat dari bahan katun kasar dan harganya terjangkau untuk masyarakat kelas bawah. Biasanya digunakan untuk pembuatan “surjan” atau baju pria khas di wilayah Kesultanan Yogyakarta dan “beskap” di wilayah Kasunanan Surakarta.

Pada kaum wanita, kain Lurik biasanya untuk selendang. Pada masa lalu masih dijumpai penjual jamu gendong menggendong bakulan jamu dengan kain tenun Lurik.

Lurik juga dibuat selendang panjang atau “setagen” untuk mengikat pinggang dan perut wanita pada tradisi Jawa. Selain itu dibuat sebagai kain bawahan (penutup bagian bawah) atau dikenal dengan ” jarik”.

Kini pemakaiannya sudah meluas di semua kalangan, termasuk untuk seragam karyawan perusahaan dan pegawai negeri. Mengingat tingginya harga kain tenun Lurik tradisional, produk Lurik di pasaran umumnya adalah hasil dari “alat tenun mesin”. Secara kualitas kain produksi mesin berbeda juga dari kain Lurik tradisional.

Sejarah Lurik

Ciri khas kain Lurik pada motif atau coraknya, yakni garis – garis atau kotak-kotak. Dikutip dari situs www.kain-lurik.com, kata “lurik” berasal dari bahasa Jawa yakni “Lorek”. yang melambangkan kesederhanaan.

Maksud ” sederhana” berdasarkan laman situs itu, yakni sederhana dalam penampilan dan pembuatan namun syarat makna.

Menurut buku “Lurik, Garis – Garis Bertuah” karya Nian S. Djoemena (2000), tidak semua kain dengan motif garis – garis atau kotak – kota bisa disebut “Lurik”.

Nian menyebutkan  bahwa sebuah kain disebut ” Lurik” bila memenuhi persyaratan tertentu dari pembuatan benang (lawe), penenunan, pewarnaan dan finishing.

Kain Lurik di masa lalu  juga berfungsi sebagai identitas atau simbol kelas sosial, rata – rata pengguna kain ini adalah orang kebanyakan.

Tak hanya itu, juga bagian atribut ritual – ritual tradisional masyarakat Jawa, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.

Mengikuti perkembangan mode dan busana, Lurik mengadopsi warna – warna kekinian dan penggunaannya tak terbatas. Motif Lurik juga dipakai untuk menambah unsur estetik busana atau aksen pada rompi, jas dan busana lainnya.

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) menyebutkan kain Lurik diperkirakan berasal dari pedesaan di Jawa. Seperti tradisi rakyat lainnya, kain ini juga naik derajat ketika dipakai di lingkungan Keraton.

Konon usia kain tenun Lurik lebih tua dari kain Batik, tergambar pada relief di Candi Borobudur tergambar sebuah sosok menenun dengan alat tenun gendong.

Jejak tradisi kain iñi terekam juga  pada cerita “Wayang Beber” wayang tertua, sebelum ada wayang kulit. Dikisahkan seorang ksatria  melamar seorang Putri Raja dengan mas kawin alat tenun gendong.

Tercatat juga pada prasasti Kerajaan Mataram Hindu yang hidup di abad ke-9 Masehi. Dalam prasasti tercatat adanya kain Lurik motif ” Pakan Malang”. Sedangkan di prasasti era Dinasti Erlangga (1033 M) tertulis Lurik corak “Tuluh Wantu”.

Pembuatan Lurik Tradisional

Saat ini motif kain Lurik sangat beragam juga dalam soal warna. Awalnya motifnya sangat sangat sederhana termasuk juga warna kain yakni hitam dan putih atau paduan kedua warna tersebut.

Mengutip dari laman kain-lurik.com, pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe). Benang (lawe) ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih.

Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang Mahoni.

Hasil rendaman daun pohon Tom (Tarum) menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang Mahoni menghasilkan warna coklat.

Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa.

Setelah bahan atau benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk ditenun.

Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat, yaitu “alat tenun bendho” dan “alat tenun gendong”.

Alat tenun “bendho” terbuat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat setagen. Alat tenun ini digunakan dengan posisi berdiri.

Disebut sebagai alat tenun “bendho” karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk “bendho” (golok).

Sedangkan alat tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun “jarik” (kain panjang). Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.

Lurik Pedan

Di desa Pedan saat ini juga memproduksi kain tenun khas pesanan  dari berbagai daerah, antara lain Toraja, bahkan kain tenun khas Meksiko.

Beberapa motif Lurik populer bisa dibeli atau dipesan di show room dan workshop Lurik di desa ini. Motif – Motif tersebut antara lain Ketan Ireng, Ketan Salak, Kijing Miring, Sodo Sak Ler, Kembang Bayem, Kembang Sembukan, Rinding Putung, Dom Kecer (hujan gerimis), Tumbar Pecah.

Berbagai produk outfit bernuasa Lurik juga bisa dibeli dengan harga dan jenis variatif, diantara jaket, syal, topi, kaos atau aksesoris Lurik.

Tak hanya itu, beberapa workshop Lurik juga menyediakan wisata edukasi tentang Lurik, dimana pengunjung dapat melihat proses pembuatan dan mencobanya. (K-SB)

Sumber : https://indonesia.go.id/kategori/keanekaragaman-hayati/1583/modernisasi-tradisi-lurik-pedan-menembus-zaman